CIVITA, The Dying City

Ini adalah Civita, kota yang selama ini saya impikan. Terletak di wilayah Lazio (berbatasan dengan Umbria), dekat dengan sebuah kota kecil bernama Bagnoregio, Civita merupakan obyek wisata di daerah Viterbo yang terkenal dengan pemandian air panasnya. Kota kecil ini memiliki banyak akses ke berbagai kota di Eropa. Sangat dekat ke Perugia, 3 jam waktu tempuh dari Florence, 25 menit dari Bolsena Lake, dan hanya 20 menit dari Orvieto.
Civita terletak kurang-lebih 2 jam perjalanan dengan menggunakan mobil dari ibu kota Italia, Roma, pusat pemerintahan dan kekuasaan yang kelihatan identik, berbau sama, serta berwarna kembar dengan saudara-saudaranya di beberapa negara lain di Eropa: Paris, Berlin, Madrid, London, Brussel, dan lain-lain.
Meskipun bertetangga dengan sejumlah kota besar, keadaan tempat ini memiliki aura yang sungguh berbeda. Di sini, Anda tidak akan menemukan kebisingan, keramaian, atau gemerlapnya kehidupan malam. Jangan berharap juga menemukan butik-butik terkenal seperti di Champs-Elysees, Paris. Civita adalah kehidupan yang jauh dari segala macam kemewahan dan kerlap-kerlip lampu. Di sini kita dituntut untuk sejenak meninggalkan segala bentuk kerinduan dan ketergantungan pada dunia kita di luar sana.
Bentuk Civita dari kejauhan terlihat seperti sebuah pulau yang bertengger di atas gunung yang tinggi, gunung yang berdiri sendiri di tengah kelompok barisan gunung lain yang mengelilinginya. Dari arah mana pun, baik dari utara, selatan, timur, maupun barat, yang terlihat hanyalah jurang-jurang yang dalam tanpa batas.
Civita layaknya sebuah kapal yang terdampar di dalam rangkulan dunia masa lampau, kapal yang telah, sedang, dan masih menunggu datangnya pertolongan, di tengah lautan yang terbentuk dari tanah liat, tempat punggung-punggung bukit seakan-akan bergerak dalam keabadian, berbentuk wujud sebuah penglihatan yang nyata. Dan keberadaan Civita membubung tinggi bersama dengan bunyi lonceng menara gereja, yang dengungannya seolah-olah menyentuh ketinggian awan biru, dan bersatu dengan keluasan langit ciptaan Tuhan Mahabesar.
Mengingatkan Lord of the Ring.
Ketika saya berjalan di atas jembatan itu, perlahan-lahan Civita makin jelas dalam pandangan mata. Kesan pertama yang saya rasakan saat Civita berada dalam jarak pandang adalah keberadaan sebuah dunia yang dihuni oleh para peri dan bidadari, yang cantik dan ayu, layaknya seorang cucu Adam dan Hawa yang berdiri dalam kesendirian tapi menikmati kesendirian yang unik tersebut.
Saat kaki menapak di balik tembok tinggi yang mengelilingi Civita, dunia dan abad modern seolah-olah terhenti sejenak, tertinggal jauh di belakang, serta menolak memasuki gerbang kota ini. Gerbang tua itu dibangun dari batu-batu gunung, dikenal dengan nama gerbang Santa Maria, berpahatkan dua ekor singa yang sedang berbaring, dengan jari-jari kedua kaki depannya mencengkeram sebuah kepala wanita; di antara kedua binatang buas itu terlihat pahatan seekor burung elang dengan sayap terbentang ke belakang, dan cakar-cakarnya terletak di atas tengkuk seekor singa.
Garis-garis arsitektur pahatan itu terlihat sangat sederhana dan seadanya, tapi pada saat yang sama juga memperlihatkan keteguhan dan keelokan. Putra saya sempat berkomentar, setelah menoleh serta memandangi jembatan yang kami seberangi untuk mencapai kota ini, bahwa pemandangan di sekitarnya mengingatkan dia akan film Lord of the Ring.
Roma, Florence, Venezia, Milan, dan kota besar lainnya seakan-akan adalah bagian negara yang asing, tempat yang tidak terjangkau oleh lengan-lengan Civita. Berteduh sejenak di bawah gerbang kota kecil ini, saya bersyukur telah keluar dari kebisingan kota besar. Tidak ada lagi suara kendaraan bermotor dan polusi, tidak ada rasa ketergesa-gesaan yang selalu mengetuk hati, tidak terdengar bisikan bising para turis yang terkagum-kagum akan peninggalan Romawi kuno.
Berada di Civita merupakan suatu pengalaman yang sangat unik. Kita seperti terayun dan terlempar ke masa lalu, saat kendaraan belum ditemukan dan segala bentuk produk penemuan para ahli belum mendapatkan tempatnya, tarikh ketika kita sebagai anak-anak manusia belum mempunyai ketergantungan terhadap mesin-mesin kecil seperti handphone, wireless computer, dan digital camera.
Bonaventura Tecchi, pengarang terkenal Italia, pernah memberikan pandangan yang jelas menggambarkan perasaannya akan tempat ini: “Saya berharap setiap orang bisa menikmati sejam dari kedamaian yang sebenarnya, berhenti sejenak dan beristirahat dari kesepian yang mengerikan yang kita lihat dalam dunia modern, dunia yang membuat kita ahli dalam menulikan telinga serta membentuk kita, dalam arti sebenarnya, terisolasi karena kekuatan alat-alat modernnya.”
Di balik tembok yang masih setia membentengi Civita, terdengar alunan asing yang berdengung lembut bila kita mau sejenak menutup mulut dan berdiam diri. Musik alam itu adalah teriakan burung-burung liar kecil, bunyi semacam jangkrik, dan bisikan angin semilir yang bertiup sendu di antara hijaunya dedaunan. Rona pesona dunia masa kecil kembali melayang di depan mata, begitu dekat dan nyata; keindahan dan alunan yang memesona.
Di hari pertama, saya melihat beberapa penduduk asli berambut putih duduk tenang di bawah naungan pohon zaitun. Seorang bapak tua dengan senyum menyalakan cerutu yang dipegangnya; di pangkuannya terletak setangkai bunga hortensia ungu yang mungkin akan diberikan untuk wanita yang dikasihinya; mata melayang jauh ke arah bukit-bukit yang berjejer mengelilingi kota tuanya.
Posisinya sangat indah untuk diabadikan dalam obyek kamera, tapi ada perasaan bersalah mengganggu kedamaian yang dinikmatinya. Gambar nyata seorang lelaki tua dan sepucuk kembang. The feminine side of a man. Cantik, ayu, dan lembut, tapi terlihat jantan pada saat yang bersamaan. Sedetik dia menoleh ke arah seorang gadis Amerika yang tertawa melengking, hanya sesaat sebelum dia kembali melayangkan tatapannya ke arah barat, ke ufuk langit yang sebentar lagi akan menelan bulatnya matahari.
Berpenghuni Sejak Zaman Batu.
Gempa susulan yang terjadi pada 1746 menghancurkan jalan yang menghubungkan Civita dengan kota atau daerah tetangganya. Secara perlahan dan pasti Civita semakin terisolasi karena bukit-bukit yang mengelilinginya perlahan-lahan runtuh. Satu per satu penduduk Civita mulai meninggalkan kotanya, terutama orang-orang penting dan institusi keagamaan. Sekitar 1.500 penduduk memutuskan untuk menetap; kembali berusaha sekuat kemampuan mereka untuk membangun rumah-rumah kediaman, serta menjaga tradisi mereka dengan penuh kasih sayang, sesuatu yang merupakan hal yang fundamental buat eksistensi mereka.
Penemuan para ahli arkeologi memberikan indikasi bahwa Civita telah berpenghuni sejak Zaman Batu. Berbagai kuburan batu yang terpahat di tebing-tebing curam memperlihatkan bahwa daerah ini merupakan perkampungan yang penting untuk orang-orang Etruscan. Suku Etruscan terkenal dengan keahlian mereka dalam strategi perang, dan dari setiap kota peninggalan Etruscan, keahlian ini bisa terlihat dengan jelas dalam pilihan akan kota-kota kediaman mereka.
Posisi yang terletak jauh di atas ketinggian mempermudah mereka dalam mempertahankan kota dari “tamu-tamu yang tidak diundang”. Sayangnya, Civita, walaupun lokasinya sangat strategis, juga memperlihatkan kealpaan manusia dalam menyelidiki tanah landasan tempat mereka memutuskan untuk membangun kediaman. Mereka tidak memperhatikan ancaman alam dan betapa ringkihnya tanah di sekitar tempat itu.
Di pusat kota, St. Donato Square (dibangun pada abad ke-8), di depan satu-satunya gereja Katolik yang berdiri tegak (menurut cerita, gereja ini dibangun di atas sebuah kuil berhala), sesaat saya duduk memandangi beberapa anak muda Amerika dan sepasang turis Jerman serta sekelompok pelajar dari Swedia yang sibuk mendiskusikan berbagai hal. Di pusat kota ini pun, yang dominan adalah kesepian, saat-saat yang sangat langka dan tidak bisa dibeli dengan euro ataupun dolar.
Pada zaman dulu, Civita merupakan sesuatu yang besar dan kuat. Saat ini, Civita adalah sesuatu yang sederhana, kecil, dan mungil. Perjalanan sejarah membuat kekuatan Romawi hancur lebur. Civita, yang merupakan bagian dari kekuatan besar itu, hancur bukan karena kerakusan lelaki-lelaki kuat dari pusat, melainkan karena kekuatan alam semesta.
Menengok kembali ke kota tua yang bertengger setia di atas bukit batu tersebut, ada rasa bijak yang menghinggapi nurani saya. Di Civita, saya kembali diingatkan bahwa kita hanyalah satu unsur bagian yang sangat kecil dari alam.
Dalam kata pembukaan di salah satu bukunya, Giuseppe Medori menulis, “What Civita leaves us is still going on and will last for a long time, since it still has a message for us: respect and care for what is bound to die.”